Pages

Saturday, November 14, 2015

BERITA MENGENAI KESEHATAN

GAYA HIDUP

Lemak Perut Tingkatkan Risiko Kematian

Seorang pria yang kelebihan berat bada duduk di kursi di Jackson, Missouri. (Foto: dok. AP Photo/Rogelio V. Solis)

Semakin tua, banyak orang menumpuk lemak di bagian tengah tubuh mereka atau kondisi yang disebut dengan spare tires. Kini dikabarkan obesitas jenis itu bisa meningkatkan risiko kematian secara drastis.
Sebuah penelitian baru mendapati bahwa orang-orang dengan berat badan normal atau orang yang kurus yang mempunyai banyak lemak di perut, dan pinggang mereka lebih besar daripada pinggul mereka, mempunyai tingkat kematian lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang sangat gemuk.
Pria dengan perut buncit kemungkinan meninggal lebih cepat dua kali lipat lebih tinggi daripada seorang pria yang kegemukan. Biasanya pria berperut buncit meninggal karena penyakit jantung. Sementara perempuan yang mempunyai spare tires, risiko kematiannya 1,5 kali lebih besar.
Francisco Lopez-Jimenez, seorang ahli jantung di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, adalah pemimpin tersebut.Ia mengatakan orang-orang dengan ukuran normal, kecuali di bagian tengah tubuh mereka, keadaan yang disebut obesitas sentral, cenderung kurang aktif.“Karena berat badan mereka normal, mereka tidak harus melakukan banyak hal terkait berat badan mereka dan kemungkinan besar mereka kurang olahraga, keluar rumah dan aktif melakukan kegiatan serta makan makanan yang sehat," kata Lopez-Jimenez.Lopez-Jimenez mengatakan lemak di daerah pinggang menekan organ-organ vital, dan memaksa organ-organ tersebut bekerja lebih keras. Lemak perut juga kurang aktif secara metabolik, yang artinya tidak bisa memproses gula dengan baik, dan bisa menimbulkan diabetes.Lopez-Jimenez mengatakan bukan berarti mereka harus menambah berat badan untuk menyebarkan distribusi lemak ke seluruh tubuh.Justru ia mengatakan hal yang paling sehat yang harus dilakukan orang-orang dengan obesitas sentral adalah tidak banyak makan junk food dan banyak latihan, dengan membentuk otot di lengan serta kaki mereka.“Otot mendapat asupan dari gula. Jadi semakin banyak otot yang mereka miliki, semakin banyak gula yang diproses," ujarnya.Orang-orang dengan berbagai berat badan disarankan untuk melakukan olahraga setidaknya tiga kali seminggu. [dw]

WHO: TBC Akibatkan Jumlah Kematian Setara dengan HIV

Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan tingkat kematian akibat tuberkulosis atau TBC telah turun hampir separuh dibanding angka tahun 1990. Namun, kata WHO, TBC sekarang setara dengan HIV/AIDS sebagai penyebab kematian di seluruh dunia.
Dr. Mario Raviglione, direktur Global TBC Program WHO (Foto: dok. AP Photo/KEYSTONE/Salvatore Di Nolfi)

Global Tuberculosis Report yang dikeluarkan WHO menunjukkan 1,5 juta orang meninggal akibat TBC pada tahun 2014, 300.000 lebih banyak dari jumlah yang meninggal akibat HIV. Dr. Mario Raviglione, direktur Global TBC Program WHO, mengatakan sebagian besar kematian akibat TBC dapat dicegah. "Meskipun ada perbaikan, kemajuan yang dibuat terkait TBC jauh dari cukup," katanya. "Kita masih menghadapi beban 4.400 orang meninggal setiap hari, yang tidak dapat diterima dalam era ketika kita dapat mendiagnosa dan mengobati hampir setiap pasien TBC."Terlebih lagi, hampir setengah dari kematian akibat tuberkulosis terjadi di lima negara, China dan India, dua negara yang paling padat penduduknya di dunia, bersama dengan Indonesia, Nigeria dan Pakistan.Dr. Eric Goosby, Utusan Khusus PBB untuk Tuberkulosis, mengatakan penurunan 47 persen dalam jumlah kasus TBC selama 35 tahun terakhir ini sebagian disebabkan oleh respon dunia terhadap HIV. TBC dan HIV sering muncul bersamaan karena ketika sistem kekebalan tubuh seseorang tidak berfungsi dengan baik, dia menjadi lebih rentan terhadap penyakit menular lainnya. Empat ratus ribu orang yang meninggal pada tahun 2014 terinfeksi TBC dan HIV. Walaupun masih tinggi, jumlah orang yang meninggal akibat HIV telah turun dalam beberapa tahun ini."Penurunan besar yang kita lihat dalam kematian akibat HIV/TBC adalah karena orang-orang menjalani pengobatan anti-retroviral untuk HIV," kata Goosby. Tapi, ia menambahkan, alasan lain yang mendasari mengapa orang terkena TBC adalah kemiskinan. "Mereka terlambat berobat. Mereka didiagnosa lebih lama, sehingga penyakitnya lebih sulit untuk diobati dan karena itu hasilnya lebih buruk." Kemiskinan, kata Goosby, membuat orang rentan tertular TBC karena mereka mungkin menderita kekurangan gizi, tidak menjaga kesehatan dan kurang perlawanan ketika mereka terjangkit penyakit menular.Laporan Tuberkulosis Global 2015 ini mengumpulkan data TBC 209 negara dan wilayah. Selain menunjukkan penurunan kasus TBC, laporan ini juga menggambarkan kesenjangan yang signifikan dalam mendeteksi dan mengobati TBC. Dr Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO mengatakan "jika dunia ingin mengakhiri epidemi ini, dunia perlu meningkatkan layanan dan yang penting, investasi dalam penelitian."Raviglione memperkirakan hampir tiga miliar dolar dana diperlukan untuk meningkatkan deteksi, mendukung penelitian obat baru untuk mengobati penyakit, memberikan obat TBC yang lebih manjur dan terjangkau dan untuk mengembangkan vaksin.TBC menular lewat udara sehingga membunuh begitu banyak orang. WHO bertujuan mengurangi jumlah kasus baru sampai 80 persen mulai tahun 2016 dan mengurangi jumlah kematian akibat TBC sampai 90 persen selambatnya tahun 2030.Untuk melakukan hal ini, Goosby mengatakan, layanan kesehatan harus dibuat lebih tersedia bagi kaum miskin dan TBC harus diakui sebagai ancaman global. Goosby melihat kemajuan dalam perkembangan ini. "Secara bertahap, dunia mulai memahami besarnya ancaman TBC," katanya. Sejalan dengan itu, penderita TB akan dilihat sebagai orang yang terdiagnosa menderita penyakit yang dapat diobati dan bukan orang yang perlu disingkirkan. [as/lt]

No comments:

Post a Comment